Kampung Naga, Kampung Adat Di Tasikmalaya




Pernahkah Anda merasa waktu Anda terlalu cepat saat berlari? Kemarin Senin, tetapi sekarang sudah akhir pekan. Kami tertekan oleh deadline, notifikasi, dan suara yang tidak berhenti. Kita hidup dalam kekacauan yang disebut sebagai "modernitas". 

 Tapi tidak jauh dari kota besar, tersembunyi di sebuah lembah subur di Tasikmalaya, ada sebuah tempat di mana waktu seolah-olah berhenti. Tempat di mana jam melambat bukan karena rusak, tetapi karena ia memilih untuk berjalan. 

 Kampung Naga adalah namanya. 

 Anda tidak dapat memarkir mobil langsung di depan pintu untuk mencapainya. Tidak ada jalan yang mulus. Di tepi jalan raya yang bising antara Garut dan Tasikmalaya, konsep "modernitas" harus dihilangkan.

Perjalanan sesungguhnya dimulai dengan menuruni 439 anak tangga.

Ini bukan sekadar eskalasi. Ini adalah pintu gerbang. Setiap langkah turun merupakan tahap dekompresi. Angin yang mengalir dari rumpun bambu perlahan menggantikan suara klakson dan deru mesin truk. Dunia "di atas" menjadi lebih tenang seiring Anda menuruni lembah. Pikiran Anda mulai menjadi lebih jelas, meskipun paru-paru Anda mungkin mengeluh karena menahan beban.

Ia terletak di sana, di dasar lembah yang dikelilingi oleh Sungai Ciwulan.

Kampung Naga adalah harmoni yang sempurna. Keteraturan yang menenangkan akan langsung terlihat di mata Anda. Rumah panggung yang terbuat dari kayu dan bambu dengan atap ijuk hitam berbaris dengan rapi dan menghadap ke utara atau selatan. Semua rumah mengikuti filosofi leluhur, jadi tidak ada satu pun yang menghadap ke timur atau barat.

Tidak ada tiang antena parabola, tidak ada kabel listrik yang berseliweran di atas kepala, dan tidak ada suara televisi yang bocor dari jendela tetangga.

Ya, Kampung Naga tidak menggunakan listrik secara sadar.

Lampu neon tidak mengganggu malam. Cahaya cempor (lampu minyak) membuatnya hangat. Kegelapan tidak perlu ditakutkan; itu adalah waktu untuk bersantai, berkumpul, dan berbagi cerita. Tawa menjadi lebih renyah dan obrolan menjadi lebih utuh karena tidak ada distraksi dari layar gawai.

Tidak ada polusi di udara; wanginya berasal dari tanah basah setelah hujan, asap kayu bakar (hawu) di dapur, dan bau padi yang ditumbuk di lisung.

Selain suara angklung yang mungkin sedang dimainkan, suara gemericik air sungai, kokok ayam, dan tawa anak-anak yang bermain di halaman. Mereka bermain dengan alam mereka daripada bermain game online.

Mungkin ada orang yang bertanya, "Mengapa mereka menolak kemajuan?"

Namun, pertanyaannya tidak benar: itu tentang "menolak", bukan "memilih".

Masyarakat Kampung Naga, yang disebut Sa-Naga, menjalankan tradisi mereka. Mereka mempertahankan kebiasaan. Bagi mereka, harmoni adalah sesuatu yang dilakukan setiap hari dan bukanlah sesuatu yang dicari. Harmoni dengan alam, sesama manusia, dan Sang Pencipta.

Mereka hidup dari sawah mereka dan kolam ikan. Mereka mandiri dan cukup.

Kampung Naga adalah sebuah "tamparan" yang lembut di dunia kita yang terobsesi dengan "lebih": lebih cepat, lebih banyak, dan lebih besar. Sebagai pengingat bahwa mencapai "cukup" adalah pencapaian yang luar biasa.

Sebagai turis, kami datang dengan kamera dan rasa penasaran. Kita mengagumi bangunan mereka, kebersihan, dan ketenangan. Setelah kita kembali ke atas dan mendapatkan sinyal, kami mengambil foto untuk diunggah.

Namun, kita membawa pulang sesuatu yang lebih dari sekedar gambar saat kita mendaki kembali 439 anak tangga itu, yang terasa jauh lebih berat daripada saat turun.

Sebuah pertanyaan dikembalikan.

Kita mungkin menyadari bahwa kita mungkin bukan orang yang "tertinggal" saat lutut kita bergetar dan napas kita kembali terengah-engah. Kita mungkin salah satu yang terlalu tergesa-gesa sampai lupa menikmati perjalanan.

Di Kampung Naga ini, waktu tidak berhenti. Ia hanya memilih untuk menikmati pemandangan alam. Dan itu, mungkin, adalah kemewahan yang sesungguhnya.