Bencana Alam Modern dan Pengaruh Falsafah Kesundaan

                                       gambar ilustrasi

Bencana Alam Modern dan Pengaruh Falsafah Kesundaan 

Bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, dan gempa bumi telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini terlihat di Indonesia, terutama di Jawa Barat, yang memiliki banyak pegunungan dan aliran sungai, sebagai pengingat betapa rapuh hubungan manusia dengan alam. Namun, pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam telah ada sejak lama dalam falsafah Kesundaan.

Alam sebagai Titipan


Menurut pepatah Sunda, "Leuweung ruksak, cai beak, manusia balangsak" berarti bahwa ketika hutan rusak dan air hilang, manusia akan hidup dalam kesulitan. Jauh sebelum dunia mengetahui istilah "krisis iklim", pepatah ini merupakan filosofi ekologis dan juga peringatan moral.

Banjir dan longsor yang sering terjadi saat ini adalah bukti langsung dari kerusakan hutan dan tata air. Menurut pandangan Kesundaan, bencana adalah reaksi alam terhadap campur tangan manusia, bukan semata-mata hukuman.

Falsafah “Tata titi duduga prayoga”

Orang Sunda percaya pada pentingnya duduga, prayoga, dan waspada, gaya hidup yang menekankan pertimbangan dan kehati-hatian sebelum melakukan sesuatu. Ini adalah prinsip yang selaras dengan pentingnya mitigasi, tata ruang yang bijak, dan pemahaman risiko lingkungan dalam konteks bencana alam kontemporer.

Sebagai contoh:

Tidak membangun pemukiman di lereng rawan atau bantaran sungai.

Menjaga flora dan fauna alami.

Terima tanda-tanda perubahan alam.

Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa falsafah Sunda sangat relevan dengan bidang kebencanaan modern.

"Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh" adalah contoh hubungan manusia-alam.

Tiga gagasan ini mengatur hubungan antara manusia dan alam:

Silih Asih: Merupakan bagian dari kehidupan untuk mengasihi dan menjaga alam.

Silih Asah → Meningkatkan pemahaman Anda tentang tanda alam, cuaca, dan lingkungan Anda.

Silih Asuh: Menjaga dan memanfaatkan alam secara bijaksana agar generasi berikutnya tidak mengalami konsekuensi negatif dari penggunaan yang tidak tepat.

Ketika manusia hanya mengambil tetapi tidak menjaga, keseimbangan alam hilang dan bencana terjadi.

Falsafah Sunda dan Kesadaran Lingkungan

Gunung, hutan, dan sungai dianggap sebagai komponen sakral dalam budaya Sunda Wiwitan. Gunung dihormati karena tempat kekuatan hidup bersemayam, hutan membantu menjaga keseimbangan, dan air membantu kehidupan.

Menurut kesadaran sejarah ini, kita dapat mengatakan bahwa:

Penanaman kembali pohon harus disertai dengan penebangan.

Tidak boleh mencemari air.

Lokasi tertentu ditetapkan sebagai area larangan, atau leuweung larangan.

Konsep konservasi kontemporer mirip.


Bencana Sebagai Pengingat untuk “Mulang ka Jati”

Menurut falsafah Sunda, seseorang disarankan untuk "mulang ka jati", atau kembali pada jati dirinya sendiri; artinya, mereka harus hidup selaras dengan alam dan menghindari kebutuhan akan kekayaan. Bencana alam saat ini mengingatkan kita bahwa kemajuan dalam teknologi dan ekonomi tidak boleh mengabaikan kelestarian lingkungan.

Untuk kembali ke jati diri, ini berarti:

Menghidupkan kembali hutan sebagai jantung Bumi.

Mengelola air dengan hati-hati

Mengurangi tingkat eksploitasi yang berlebihan.

Mengembangkan kebiasaan berkolaborasi dalam menghadapi bencana.

Bencana alam yang terjadi saat ini bukan hanya fenomena fisik; mereka adalah gambaran kondisi batin manusia kontemporer yang mulai menjauh dari kesadaran akan alam. Menurut falsafah kesundaan, harmoni dengan alam adalah kunci kesejahteraan. Jika kita kembali menghormati alam, memahami ritmenya, dan menjaga keseimbangannya, alam akan bersahabat dengan kita juga.

Oleh karena itu, kearifan Sunda bukan hanya warisan budaya tetapi juga panduan ekologis yang sangat berguna untuk menangani bencana alam di era modern.