Minggu, Desember 21, 2014

DYAH PITALOKA CITRA RESMI | Antara Keserakahan dan Kehormatan Harga Diri

<img src="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSpWrh9P48qFLhN-39cdfwvGUeF14leL3OQCc9t-GDPImFd0nfluf7lK20"/>

Kelahiran seorang bayi perempuan dari keturunan Raja Sunda yakni Raja Linggabuana dengan istrinya Laralinsing menjadi buah bibir bagi rakyat Kawali pada saat itu. Bayi perempuan itu diberi nama Dyah Pitaloka Citra Resmi. Dyah Pitaloka Citra Resmi tumbuh dengan paras yang amat cantik.
Berita kecantikan Sang Putri akhirnya sampai kepada Hayam Wuruk seorang Raja dari Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk menyuruh utusan untuk melukis wajah Putri Sunda tersebut. Setelah berhasil melukis wajah Sang Putri, kemudian diserahkannya lukisan tersebut kepada Raja Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk pun tertarik akan kecantikan Sang Putri dan ingin menyuntingnya. Hayam Wuruk pun akhirnya menyuruh seorang mantri bernama Madhu untuk meminang Sang Putri. Setelah berlayar selama 6 hari, akhirnya mantri madhu pun tiba di Kerajaan Sunda dan langsung bertemu dengan Raja Linggabuana untuk menyampaikan pinangan dari Raja Hayam Wuruk.
Raja Linggabuana pun akhirnya menerima pinangan Hayam Wuruk.
Kemudian Madhu pun kembali ke Majapahit dengan membawa surat balasan dari Raja Linggabuana dan memberi tahu kedatangannya.
Raja Linggabuana beserta permaisuri dan putrinya berangkat dari Sunda ke Majapahit dengan membawa rombongan kecil. Setelah sampai di Bubat, Raja Linggabuana pun ditempatkan di Pesanggrahan Bubat dan kepala desa Bubat pun segera melapor ke Raja Hayam Wuruk bahwa rombongan dari Kerajaan Sunda telah sampai. Raja Hayam Wuruk beserta kedua pamannya yaitu Raja Kahuripan dan Raja Dahu telah siap menyongsong tamunya tersebut. Akan tetapi patih  Gajah Mada tidak setuju dengan alasan tidak sepantasnya raja Majapahit menyongsong raja Sunda yang seharusnya jadi raja bawahan. Gajah Mada menganggap peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menaklukkan Kerajaan Sunda dan Gajah Mada bersikeras bahwa sang putri tidak akan dijadikan Ratu, melainkan Selir yang akan diserahkan ke Raja Hayam Wuruk.
Akhirnya Hayam Wuruk tidak jadi pergi dan menuruti saran dari Gajah Mada. Para abdi dalem dan pejabat keraton sangat terkejut dengan saran Gajah Mada itu namun mereka tidak berani melawan.
Raja Linggabuana pun telah tahu perkembangan terbaru dari Majapahit. Sang Raja pun mengirimkan utusannya yaitu patih Anepaken bersama tiga orang pejabat dan sekitar 300 orang prajurit ke Majapahit. Sesampainya di Majapahit, Patih Anepaken menyampaikan bahwa rombongan akan pulang ke Tatar Sunda dan menyatakan bahwa Hayam Wuruk telah ingkar janji. Saat itu terjadi pertengkaran antara Gajah Mada dan Anepaken, karena Gajah Mada menginginkan orang Sunda menghormati Majapahit seperti negara-negara bawahan Majapahit.
Saking hebatnya pertengkaran itu, hampir saja terjadi peperangan namun berhasil di redam oleh seorang pandita kerajaan bernama Smaranata. Maka pulanglah utusan raja Sunda itu setelah menyampaikan keputusannya selama jatuh tempo dua hari.
Setelah mendengar Sunda harus jadi bawahan Majapahit, Raja Linggabuana berkata kepada prajurit-prajuritnya bahwa dia akan berjuang sampai mati sebagai Ksatria demi menjaga kehormatan dan harga diri daripada menjadi bawahan Majapahit. Dan prajuritnya pun bersedia mendampingi sang Raja.
Raja Linggabuana pun berkata kepada istri dan putrinya tentang hal itu dan menyuruhnya kembali ke Kerajaan Sunda, namun istri dan putrinya menolak dan akan ikut belapati bersama sang Raja.
Pertempuran yang tidak seimbang pun tidak terhindarkan. Korban pun berjatuhan dari ke dua kubu. Karena kalah jumlah, Raja Linggabuana dan prajurit sejatinya gugur di medan laga. Hanya seorang berhasil lolos dan melaporkan kepada Permaisuri dan Putri Citra Resmi bahwa seluruh pasukannya gugur berikut Sang Raja. Peristiwa ini dikenal dengan nama Perang Bubat.
Sesuai ajaran hindu, para istri prajurit yang gugur melakukan belapati (bunuh diri) ke medan perang diatas jenazah suami mereka.
Setelah kematiannya Raja Linggabuana, dikenal masyarakat Sunda sebagai Raja yang gagah berani membela kehormatan bangsa dan negaranya. Raja Linggabuana pun diberi gelar "Prabu Wangi" yang artinya Raja yang mempunyai nama yang harum. Keturunannya yakni raja-raja Sunda berikutnya diberi gelar Siliwangi atau Silih Wangi, artinya penerus Prabu Wangi.

Minggu, Desember 14, 2014

Pecundang Berhati Hitam

Lihat...!
Awan begitu cantik
Hmmm...
Andai saja aku bisa terbang
Bercanda dengannya
Mungkin
Hatiku yang hitam
Berubah putih seperti warnanya saat ini
Ceria, suci, putih, berseri
Tapi aku ingat
Kalau mamaku memakai pemutih pakaian
Untuk membuat putih bajuku
Ya, mungkin harus pakai pemutih pakaian
Tapi...,
Aku takut
Nanti putihku bukan berseri
Kau tahu mungkin pucat
Lalu...coba tebak..!?
Nah makanya
Aku ingin terbang saja
Bercanda dengan awan
Siapa tahu hatiku putih
Tapi...,
Dengan apa...?
Kamu bisa bantu
Tidak, katamu
Jadi...
Tetaplah aku dibumi
Menjadi pecundang berhati hitam
Hmm...
Mungkin cat tembok dikamarku
Bisa bantu aku

Karya: Ani Nurafni

Jumat, Desember 05, 2014

Suatu Hari

Semua merasa lelah
Ketika ku tanya
Pada kantong-kantong mata
Mengapa begitu berat?
Mengapa begitu hitam?
Mengapa begitu kaku?
Mengapa begitu dingin?
Hai...,
Mengapa lelah
Mengapa tak begitu semangat
Padahal jalan itu masih panjang
Untuk lewat
Apa kau tahu dihadapku
Anak-anak begitu ceria
Seakan seribu tahun
Tak begitu lama
Ah...,
Apa kau perlu mesin waktu
Untuk dapat cepat
Melintas lorong-lorong hidup
Berwarna
Tapi apa benar berwarna?
Hanya...yang jelas
Ada asap
Ada kabut
Hingga kantong mata begitu berat
Hai...,
Jalan masih terlalu panjang
Untuk berhenti
Jadi bersiap-siaplah
Teh hijau mungkin baik
Kata nenekku
Suatu hari

Karya: Ani Nurafni