Senin, Februari 28, 2011

Kesaksian Willem Lodewycksz

Keadaan Banten pada masa Maulana Muhammad ini dapat diketahui dari Kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti perjalanan Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten pada tahun 1596. Dari catatan mereka dapatlah diketahui keadaan kota Banten secara lebih jelas.
Ketika itu Banten telah mempunyai tembok-tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Tembok-tembok itu tidak mempunyai menara-menara, melainkan semacam tiang gantungan setinggi tiga stagie yang terbuat dari kayu besar. Orang dapat melayari kota seluruhnya melalui banyak sungai. Diperkirakan besarnya kota Banten sebesar kota Amsterdam pada tahun 1480 ketika kota itu dikelilingi tembok untuk pertama kalinya. (Chijs, 1881: 18 dan Djajadiningrat, 1983: 144).
Mulai dari pintu gerbang besar istana sampai di luar, terdapat bangunan-bangunan seperti diantaranya : Made Bahan, tempat tambak baya melakukan jaga, Made Mundu dan Made Gayam, terus Sitiluhur atau Sitinggil yang didekatnya terdapat bangunan untuk gudang senjata dan kandang kuda kerajaan. Kemudian terdapat Pakombalan yaitu penjagaan untuk wong gunung. Di sebelah utara terdapat tempat perbendaharaan dan di sebelah barat berdiri masjid dengan menara disampingnya. Selanjutnya terdapat suatu perkampungan yang disebut Candi Raras, yang diantaranya terdapat bangunan-bangunan Made Bobot dan Made Sirap. Di sebelah timur Made Bobot terdapat Mandapat yaitu suatu bangunan terbuka yang dipasang meriam Ki Jimat mengarah ke utara. Dekat Srimanganti terdapat Waringin Kurung dan Watu Gilang. Ditepi sungai terdapat Panyurungan atau galangan kapal kerajaan. Di sebelah barat-laut terdapat pasar dan sebelah baratnya terdapat masjid besar kerajaan.
Dekat Panyurungan terdapat tonggak tempat mengikat gajah raja yang bernama Raja Kawi. Di sebelahnya terdapat jembatan besar dari kayu jati melintasi sungai yang selanjutnya terdapat jalan raya dengan pagar kembar menuju ke arah utara ke perbentengan. Perbentengan sebelah dalam atau Baluwarti Dalem disebut Lawang Sademi atau Lawang Saketeng yang di sebelah baratnya berdiri pohon beringin besar dan perbentengan Sampar Lebu. (Djajadiningrat, 1983:57).
Banten mempunyai kapal perang yang menyerupai galai dengan dua tiang layar. Keistimewaan kapal ini mempunyai serambi yang sempit dengan geladak luas. Hal ini memungkinkan tentara lebih leluasa bergerak dalam perang. Di bagian depannya ditempatkan empat pucuk meriam. Sedangkan ruang pengayuh ditempatkan di bagian bawah. Untuk perjalanan jauh seperti ke Maluku, Banda, Kalimantan, Sumatra dan Malaka digunakan kapal Jung besar dengan layar kecil di depannya. Disamping itu ada juga perahu-perahu lesung kecil yang bisa berlayar dengan cepat yang belum pernah dilihat oleh orang Belanda sebelumnya. Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan membayar bea masuk.
Tentang pasar, dalam catatannya Willem Lodewycksz mengatakan sebagai berikut : "Di sebelah timur kota yaitu daerah Karangantu baik pagi maupun siang terdapat pedagang-pedagang dari Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Bengali, Gujarat, Malabar, dan Abesinia. Juga terdapat pedagang-pedagang dari Nusantara yang berasal dari Bugis, Jawa, dll. Pasar kedua terletak di Paseban. Disini diperdagangkan keperluan sehari-hari. Dan pasar ketiga terletak di Pecinan yang dibuka sebelum dan sesudah pasar-pasar lain tutup. Barang-barang yang diperdagangkan bermacam-macam dari kain sutra Cina dan Gujarat sampai sisir dan kipas. Barang-barang tekstil dari Gujarat ini sampai 20 jenis. Transaksi perdagangan ini berjalan mudah, karena mata uang dan juga pertukaran mata uang sudah dikenal" (Sartono, 1975: 218-231).
Maulana Muhammad terkenal sebagai seorang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran Islam Beliau banyak mengarang kitab-kitab agama yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Beliau sangat hormat kepada gurunya yang bernama Kiyai Dukuh di Kampung Kasunyatan sehingga diberi gelar Pangeran Kasunyatan (Djajadiningrat, 1983:39 dan 164). Untuk sarana ibadah dibangunlah banyak masjid sampai pelosok-pelosok yang disana terdapat banyak masyarakat muslim. Dalam shalat berjamaah terutama shalat jum'at dan Hari Raya, Sultanlah yang selalu menjadi imam dan khatib.
Masjid Agung yang terletak di tepi alun-alun diperindah. Temboknya dilapisi porselen dan tiang atasnya dibuat dari kayu cendana. Untuk perempuan disediakan tempat khusus yang disebut Pawestren atau Pawadonan. Menjelang lebaran biasanya orang sibuk menjahit pakaian barunya, sehingga seolah-olah semua orang menjadi tulang jahit." Demikian kesaksian Willem Lodewycksz (Sartono, 1975:131-132).

Sumber : Catatan Masa Lalu Banten
Oleh : Drs. Halwany Michrob MSc. dan Drs. A. Mudjahid Chudari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar