Senin, Januari 24, 2011

PENYERBUAN BANTEN KE PAJAJARAN

Sampai tahun 1521 yang berkuasa di Pajajaran adalah Jayadewata yang bergelar Sri Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Beliau memerintah dengan bijaksana, sehingga rakyat menyebutnya dengan Prabu Siliwangi yang berarti dia adalah silih (pengganti) Prabu Wangi yang meninggal waktu perang Bubat. Karena kecemasan dengan perkembangan Kesultanan Demak yang telah bekerja sama dengan Cirebon, maka raja mengutus Putra Mahkota Ratu Sangiang atau Surawisesa untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan orang Portugis di Malaka. Kejadian ini didorong juga kecurigaan adanya pasukan Demak di Cirebon sewaktu pesta perkawinan 4 pasangan : Pangeran Hasanuddin dengan Ratu Ayu Kirana, Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun, dan Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa). Ketika utusan Portugis yakni Hendrique de Leme datang ke Sunda Kelapa pada tahun 1522, Sri Baduga telah wafat yang kemudian digantikan oleh anaknya Pangeran Surawisesa. Pada tanggal 21 Agustus 1522, naskah perjanjian antara Pajajaran dan Portugis di tandatangani di Pakuan. Perjanjian ini mendorong Demak dan Cirebon untuk segera bertindak menguasai Selat Sunda. Maka dengan pimpinan Fatahillah, dikuasailah pelabuhan Banten pada tahun 1526 dan satu tahun kemudian Sunda Kelapa dapat direbutnya pula. Sesuai yang digariskan, pasukan ini hanya menguasai bagian pantai saja tidak sampai ke pedalaman. Selain jumlah mereka tidak mencukupi, juga di dapat pasukan Pajajaran masih cukup kuat. Meski demikian, saling serang di daerah perbatasan masih sering terjadi. Keadaan ini berlangsung sampai 5 tahun. Pada tahun 1531 tercapailah kesepakat damai antara Pajajaran dengan Demak dan Cirebon. Perjanjian ini di tandatangani oleh Surawisesa, Fatahillah, Pangeran Sabakingkin dan Cakrabuana. Dengan perjanjian ini, Pajajaran memperoleh kesempatan menumpas pemberontakan di dalam negeri yang berkobar di 15 daerah. Selama 2 tahun Surawisesa dapat menumpas pemberontakan ini. Pada tahun 1535 Surawisesa meninggal dunia yang kemudian dimakamkan di Padaren. Surawisesa atau Ratu Sangiang dikenal dalam naskah babad dengan nama Guru Gantangan, sedangkan dalam pantun disebut Mundinglaya Dikusuma. Penggantinya adalah Dewata Buana yang dikenal sebagai "Raja Resi", karena Beliau lebih banyak hidup di pertapaan dari pada mengurus pemerintahan. Rupanya Banten diam-diam menyusun pasukan khusus yang mampu bergerak cepat tanpa membawa nama Banten. Pasukan ini dikomandoi oleh Pangeran Yusuf putra mahkota Banten, menyerang dan merebut beberapa daerah perbatasan. Akhirnya mereka sampai dan menyerang ibukota Pakuan bahkan sampai ke alun-alun luar kota. Hanya berkat benteng yang di bangun Sri Baduga, penyerangan ini tidak mampu masuk kota. Akan tetapi dalam pertempuran ini, gugur dua orang senapati tangguh yakni Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang. Gagal memasuki ibukota, pasukan ini menyerang dan menguasai daerah Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri. Ratu Dewata memerintah selama 8 tahun (1535 - 1543). Penggantinya adalah Ratu Sakti yang memerintah secara kejam dan lalim. Banyak penduduk yang dihukum mati dan dirampas hartanya tanpa alasan. Raja ini telah dicap sebagai melanggar adat keraton karena mengawini seorang istri lapangan (wanita yang sudah bertunangan dengan pria lain sedangkan pria tunangannya itu belum mati atau pertunangan itu masih berlaku) dari keluaran (wanita dari keturunan Majapahit, karena setelah perang Bubat pria Pajajaran dilarang keras menikah dengan wanita keturunan Majapahit) yang dilarang adat secara keras. Bahkan diapun melakukan skandal dengan ibu tirinya. Ratu Sakti meninggal pada tahun 1551 dan digantikan oleh Sang Nilakenda atau Sang Lumahing Majaya. Raja ini lebih mementingkan hal-hal mistis yang dibarengi mabuk-mabukan. Hal ini mendorong penghuni istana ketagihan minuman keras. Pekerjaan raja hanya foya-foya dan cenderung menjurus ke arah kemaksiatan. Gejala ini menyebar ke penjuru negeri yang membawa kelemahan dan kekacauan pemerintahan. Dengan keadaan ini, Pakuan dengan mudah dikuasai oleh pasukan Banten. Nilakenda sendiri berhasil melarikan diri. Kejadian ini berlangsung pada tahun 1567. Raja Pajajaran terakhir adalah Ragamulya atau Prabu Surya Kencana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, melainkan di Pulosari Pandeglang, sehingga disebut juga Pucuk Umun (Panembahan Pulosari). Karena kedudukan Pulosari demikian sulit ditembus musuh, maka pada masa pemerintahan Maulana Yusuf yang tidak terikat perjanjian dengan Pajajaran, akhirnya benteng tersebut bisa direbut. Kejadian ini berlangsung pada Pajajaran sirna ing bhumi ekadaci Weshakamasa sahasra limangatus punjul siji ikang Sakakala (tanggal 11 suklapaksa bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Dihitung dengan penanggalan Masehi dan Hijriyah akan jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 atau 11 Rabi'ul awal 987, hari Jumat Legi. Pasukan Banten dipimpin langsung oleh Maulana Yusuf berangkat pada hari Ahad tanggal 1 Muharram tahun Alif dengan sangsakala : bhumi rusak rekeh iki atau tahun 1501 Saka. *)Sumber : Catatan Masalalu Banten | Drs. Halwany Michrob MSc. dan Drs. A. Mudjahid Chudari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar