Minggu, Februari 13, 2011

Konsep Bid'ah

Tanya:
Assalamualaikum Bapak Quraish
Shihab dan tim. Ada beberapa hal
yang mau saya
tanyakan tentang bid'ah. Sebagian
kelompok ada yang menganggap
amalan/ kebiasaan yang kita lakukan
adalah perkara bid'ah, sementara
amalan tersebut mengandung
unsur kebaikan (contoh
memperingati hari-hari besar Islam,
dzikir, doa secara berjamaah, dan
sebagainya).
Bagaimana tanggapan Bapak
tentang hal ini? Dan bagaimana pula
pendapat bapak dengan hadits
Rasulullah yang kira-kira artinya
"Setiap perkara bid'ah adalah sesat"?
Dan bagaimana seharusnya sikap
kita sebagai Muslim yang baik
tentang perbedaan pendapat ini?
Mohon Penjelasannya Bapak, dan
saya ucapkan terimakasih.
(Ikha Monyca Sari,
allykha_pdg@yahoo.com)
Jawab:
Bid'ah dari segi bahasa adalah
sesuatu yang baru, belum ada yang
sama sebelumnya. Tentu saja,
dalam kehidupan ini banyak hal baru
yang bukan saja bersifat material,
melainkan juga immaterial dan
bukan saja dalam adat kebiasaan,
tetapi juga dalam praktik-praktik
yang berkaitan dengan agama. Hal
yang baru itu boleh jadi baik dan
boleh jadi juga buruk.
Jika demikian, pastilah ada bid'ah
yang baik dan buruk. Agama ada
yang berkaitan dengan ibadah
murni (mahdhah) dan ada juga
yang bukan ibadah murni (ghair
mahdhah). Bid ‘ah dalam hal-hal
yang bukan ibadah murni dapat
dibenarkan selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip
dasar agama. Katakanlah
penggunaan telepon dan teleks
untuk menggantikan pertemuan
langsung dan ucapan dalam ijab
dan kabul pada transaksi
perdagangan bahkan pernikahan.
Di sisi lain, banyak ulama yang
menganalisis sebab-sebab Rasul
Saw tidak mengerjakan sesuatu.
Ada yang tidak beliau kerjakan
karena sejak semula itu terlarang
dan ada juga yang tidak beliau
kerjakan karena ketika itu belum ada
alasan atau dorongan
mengerjakannya.
Nah, bila kemudian ada alasan yang
mendorong dan dapat dibenarkan,
bid'ah dalam hal ini dapat
dibenarkan, seperti menulis dan
membukukan al-Qur'an dalam satu
mushaf pada masa Abu Bakar ra.
Kita semua tahu bahwa pada masa
Rasul Saw, al-Qur'an belum
dibukukan bukan saja karena ayat-
ayat masih silih berganti turun
selama hidup Rasul Saw, melainkan
juga karena kebutuhan untuk
membukukannya belum dirasakan.
Ini berbeda setelah beliau wafat. Ada
lagi yang tidak dikerjakan Rasul Saw
karena ketika itu ada dorongan atau
sebab untuk tidak mengerjakan.
Salat Tarawih berjamaah pada
mulanya beliau lakukan di masjid
dengan delapan rakaat dan banyak
sahabat mengikutinya. Dari malam
ke malam semakin banyak. Ketika
itu, beliau khawatir jangan sampai
ada yang menduga salat itu wajib,
maka beliau hentikan dan salat di
rumah sendirian.
Ketika beliau wafat dan kekhawatiran
telah sirna, Sayyidina 'Umar
menganjurkan salat Tarawih
dilaksanakan di masjid dan
berjamaah dengan dua puluh rakaat
plus witir. Sayyidina 'Utsman ra
juga melakukan apa yang tidak
dilakukan Rasul saw. Ketika kota
Madinah telah melebar dan
penduduknya bertambah, pada hari
Jumat, beliau adzan dua kali padahal
pada masa Nabi Saw hanya sekali.
Demikianlah bid'ah —dalam ibadah
pun— tidak semuanya terlarang jika
dasar pokoknya ada. Memang, pada
dasarnya, dalam hal ibadah murni,
segalanya tidak boleh kecuali apa
yang dikerjakan Rasul Saw,
sedangkan dalam soal muamalat,
segalanya boleh kecuali yang
dilarang. Akan tetapi, ulama pun
menegaskan bahwa apa yang
ditinggalkan Rasul Saw hendaknya
dikaji mengapa ketika Nabi Saw
hidup, beliau tidak mengerjakannya.
Kalau memang suatu ibadah atau
pekerjaan ada alasan untuk
mengerjakannya dan diketahui
bahwa Rasul Saw tidak
mengerjakannya, karena enggan,
kemudian ada sesudah beliau yang
mengada-ada, itulah bid'ah yang
sesat. Itulah yang tidak diterima
Allah Swt dan itu yang dimaksud
dengan setiap bid'ah dhalalah (sesat)
dan semua dhalalah di neraka.
Dalam konteks ini, ulama berbeda
pendapat tentang tahlil, maulid, dan
sebagainya. Demikian, wallahu
a'lam.
(M Quraish Shihab, Dewan Pakar
Pusat Studi al-Qur'an)
(Qur'an and Answer ini merupakan
kerjasama dengan
www.alifmagz.com)

Alifmagz : detikRamadan
detikcom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar